Serial (6): "Durar As-Suluk fi Siyasat Al-Mulk"

KAJIAN KITAB DURAR AL-SULUK FI SIYASAT AL-MULUK
(Petuah-petuah Taujih Siyasi Untuk Para Raja dan Pemimpin)

Karya: Imam Abu al-Hasan ‘Ali bin Habib al-Mawardi

Oleh: Ustadz Musyaffa Ahmad Rahim, M.A.
Ketua Bidang Pembinaan Kader DPP-PKS


Petuah_09

وَهَذَا أَمْرٌ يَنْبَغِيْ لِكُلِّ وَاحِدٍ أَنْ يُرَاعِيَهُ مِنْ نَفْسِهِ، وَيُفَرِّقَ بَيْنَ مُتَمَلِّقِهِ اِحْتِيَالاً وَبَيْنَ مُخْلِصٍ لَهُ النَّصِيْحَةَ مِنْ أَهْلِ الصِّدْقِ وَالْوَفَاءِ اَلَّذِيْنَ هُمْ مَرَايَا مَحَاسِنِهِ وَعُيُوْنِهِ.

Hal ini adalah urusan di mana semua orang hendaklah memperhatikan dirinya dan membedakan antara penjilat yang hendak menjebak, dan antara seseorang yang dengan ikhlas menasihatinya dari kalangan orang-orang yang jujur dan setia, yang mereka itu adalah orang-orang terbaik yang ada dalam pandangan dan penglihatannya.

فَإِنَّهُ إِنْ أَغْفَلَ ذَلِكَ دَاهَنَ نَفْسَهُ، وَنَافَقَ عَقْلَهُ، وَاسْتَفْسَدَ أَهْلَ الْوَفَاءِ وَالصِّدْقِ، وَصَارَ مَأْكَلَةَ النِّفَاقِ وَالْمَلْقِ، فَأَعْقَبَهُ ذَلِكَ ضَرَرًا، وَأَوْرَثَهُ تَهْجِيْنًا وَذَمًّا.

Sebab, jika seseorang lengah tentang hal ini (kemampuan membedakan antara penjilat dan pemberi nasihat), maka ia akan mengakali diri sendiri, bersikap munafik kepada akalnya sendiri, dan merusak hubungannya dengan orang-orang yang setia dan jujur. Dan jadilah ia santapan kemunafikan dan penjilatan, akibat berikutnya adalah terkena marabahaya dan menjadi bahan ledekan dan ejekan.

وَالْمَلِكُ أَوْلَى مَنْ حَذِرَ ذَلِكَ وَتَوَقَّاهُ، لِأَنَّ حَضْرَةَ الْمُلُوْكِ كَالسُّوْقِ اَلَّتِيْ يُجْلَبُ إِلَيْهَا مَا يَنْفِقُ فِيْهَا، وَكُلُّ دَاخِلٍ عَلَيْهِ فَإِنَّمَا يُرِيْدُ اَلتَّقَرُّبَ إِلَيْهِ بِقَوْلِهِ وَفِعْلِهِ، فَإِذَا عَلِمُوْا مِنْهُ إِيْثَارَ الْمُوَافَقَةِ عَلَى الْهَوَى وَحُبِّ الْمَدْحِ وَاْلإِطْرَاءِ، جَعَلُوْا ذَلِكَ أَرْبَحَ بَضَائِعِهِمْ لَدَيْهِ وَمِنْ أَجَلِّ مَا يَتَقرَّبُ بِهِ إِلَيْهِ، فَيَتَصَوَّرُ ذَمَّهُ حَمْدًا وَقَدْ كَسَبَ بِهِ ذَمًّا، وَيَتَصَوَّرُ قُبْحَهُ حَسَنًا وَقَدْ كَسَبَ بِهِ قُبْحًا، فَهَذَا مِمَّا يَجِبُ أَنْ يَتَوَقَّاهُ الْمَلِكُ وَيَحْذَرَهُ

Dan seorang raja adalah manusia yang paling harus mewaspadai hal ini dan berhati-hati dengannya, sebab, yang mulia para raja itu ibarat pasar, apa saja didatangkan ke situ untuk diperdagangkan, terutama yang akan laku keras di situ, dan semua orang yang masuk kepadanya, tiada lain maksudnya adalah mendekatkan diri kepada sang raja dengan ucapan dan perbuatannya. Maka, jika mereka mengetahui bahwa sang raja merasa cocok kepada mereka, senang dipuji dan disanjung, maka mereka akan menjadi pujian dan sanjungan ini sebagai dagangan yang paling menguntungkan mereka, dan menjadikannya pula sebagai modal paling utama untuk mendekatkan diri mereka kepada sang raja, lalu sang raja mempersepsi celaan sebagai pujian, dan mempersepsi keburukan sebagai kebaikan.

Hal inilah yang wajib diwaspadai oleh sang raja dan berhati-hati darinya.

Petuah ini masih berbicara tentang dampak buruk dari para penjilat.

Ada beberapa hal yang dapat digaris bawahi dari PETUAH_09 ini, diantaranya:

1. Mengingat bahwa antara nasihat yang tulus dan sanjungan serta pujian yang menjilat hampir tidak ada perbedaan di antara keduanya, maka, Imam Mawardi me-wanti-wanti yang mengingatkan para raja, atau pemimpin, atau pejabat, atau politisi tentang perbedaan diantara keduanya.

2. Memang Imam Mawardi tidak menjelaskan secara detail perbedaan diantara keduanya ini, namun, indikasinya adalah:

a. Nasihat yang tulus, datang dari ahli ash-shidqi wal wafa (orang-orang yang setia dan jujur). Mereka tidak menjadikan nasihatnya sebagai “dagangan” atau “modal” bagi keuntungan pribadi.

b. Sedangkan mutamalliqin (para penjilat dan pencari muka), mereka mempergunakan:

i. Sanjungan
ii. Pujian, dan
iii. Hal-hal yang menyenangkan sang raja, atau pemimpin, atau pejabat, atau politisi, sebagai modal atau umpan atau bahan untuk mendekatkan diri kepadanya.

3. Ciri dan indikasi lain adalah:

a. Ahlush-shidqi wal wafa tidak segan-segan menasihati sang raja, atau pemimpin, atau pejabat, atau politisi dengan hal-hal yang mungkin tidak disenangi olehnya, asalkan hal itu membawa maslahat baginya dunia dan akhirat, sedangkan

b. Al-mutamalliqun tidak segan-segan menggambarkan keburukan sebagai kebaikan, mempercantiknya dan memperindahnya di hadapan sang raja, atau pemimpin, atau pejabat, atau politisi. Mereka tidak segan-segan pula untuk menampilkan, menggambarkan, mempersepsi kebaikan sebagai keburukan di hadapan sang raja, atau pemimpin, atau pejabat atau politisi.

4. Kemampuan membedakan antara dua hal ini, terpulang kepada kemampuan sang raja, atau pemimpin, atau pejabat, atau politisi dalam men-siyasat-i dirinya. Tentunya, setelah banyak berdoa dan bertawakkal kepada Allah SWT.

5. Jika seorang raja, atau pemimpin, atau pejabat, atau politisi, tidak memiliki kemampuan seperti ini, menurut sudut pandang dan kacamata siyasah),maka ia akan terjebak kepada:

a. Dharar (marabahaya),
b. Tahjin (penghinaan, ledekan dan ejekan),
c. Dzamman (celaan).
d. Ma’kalatan-Nifaq (santapan kemunafikan) dari pihak lain.
e. Istifsad ahlish-shidqi wal wafa (rusaknya hubungan antara dirinya dengan mereka-mereka yang jujur dan setia), serta
f. Jungkir balik dan tidak jelasnya lagi mana yang baik mana yang buruk, mana yang terpuji dan mana yang tercela.


Petuah_10

دَلَائِلُ الْوَقار

Tanda-Tanda waqar (tenang berwibawa)

وَإِذَا كَانَ الْوَقَارُ مَحْمُودًا، وَكَانَ الْإِنْسَانُ بِهِ مَأْمُورا، فَوَاجِبٌ أَنْ نَصِفَ مِنْهُ فُصُوْلاً دَالَّةً يَتْبَعُ بَعْضُهَا بَعْضًا

Jiwa waqar sesuatu yang terpuji, dan manusia diperintahkan untuk memilikinya, maka menjadi kewajiban kita untuk mendiskripsikannya dalam beberapa pasal yang susul menyusul (sambung menyambung) yang semakin memberi penjelasan tentangnya.

فَمِنْ ذَلِكَ:
قِلَّةُ التَّسَرُّعِ إِلَى الشَّهَوَاتِ وَالتَّثَبُّتِ عِنْدَ الشُّبُهَاتِ.
وَاجْتِنَابُ سُرْعَةِ الْحَرَكَاتِ وَخِفَةُ اْلإِشَارَاتِ
ثُمَّ إِطْرَاقُ الطَّرَفِ
وَلُزُوْمُ الصَّمْتِ، فَإِنَّهُ أَبْلَغُ فِي الْوَقَارِ وَأَسْلَمُ مِنْ هَذْرِ الْكَلَامِ، مَعَ أَنَّ الْمَلِكَ مَلْحُوْظُ اْلأَنْفَاسِ مَنْقُوْلُ اللَّفْظِ

Diantaranya:

1. Tidak terburu-buru memenuhi tuntutan syahwat dan tatsabbut saat terjadi syubhat.
2. Menjauhi kecepatan gerak dan menghindari kegampangan memberi isyarat
3. Cenderung “tutup mata”
4. Tetap diam, sebab diam lebih berkesan mendalam dalam bab waqar ini dan lebih selamat daripada banyak berbicara, padahal seorang raja itu nafasnya diperhatikan dan kosa katanya dinukil di sana sini.

وَقَدْ قَالَ بَعْضُ الْحُكَمَاء: اَلْحَصْرُ خَيْرٌ مِنَ الْهَذْرِ، لِأَنَّ الْحَصْرَ يُضْعِفُ الْحُجَّةَ، وَالْهَذْرُ يُتْلِفُ الْمُهْجَةَ

Sebagian ahli hikmah berkata: “Kosa kata yang dapat dihitung lebih baik daripada banyak berbicara, sebab, kosa kata yang terbatas dan bisa dihitung akan memperlemah argumentasi lawan, sedangkan banyak berbicara dapat membinasakan

Ada beberapa hal yang dapat digaris bawahi dan perlu sedikit mendapat ulasan dari PETUAH_10 ini, diantaranya:

1. Pada PETUAH_07, Imam Mawardi telah mulai menyinggung tentang, akhlaq politik mana yang mestinya ada pada seorang raja, atau pemimpin, atau pejabat, atau politisi, tepatnya adalah pada pernyataan beliau:

لَكِنَّ السَّكِيْنَةَ وَالْوَقَارَ أَحْمَدُ وَأَوْلَى بِهِ مِنَ الْكِبْرِ وَاْلإعْجَابِ.

Akan tetapi ketenangan dan kewibawaan lebih terpuji dan lebih utama bagi seorang raja dari pada al-kibr dan ‘ujub.

2. Dan beliau juga menyinggung bahwa sebagian orang, termasuk raja, atau pemimpin, atau pejabat, atau politisi, tidak mampu membedakan – secara praktis dan operasional – mana yang waqar dan mana pula yang al-kibr atau ‘ujub, tepatnya pada pernyataan beliau (PETUAH_07):

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ لَا يُفَرِّقُ بَيْنَ الْكِبْرِ وَالْوَقَارِ

Sebagian orang ada yang tidak dapat membedakan antara al-kibr dan al-waqar (tenang penuh Wibawa).

3. Oleh karena itu, pada PETUAH_10 ini, Imam Mawardi akan memulai menjelaskan tentang دَلاَئِل الْوَقَار (tanda-tanda waqar) ini, dan beliau berjanji akan menjelaskannya dalam فُصُوْلا (banyak pasal), di mana sebagian pasal akan disusul dan diiringi oleh pasal berikutnya, dan penjelasan ini menurut beliau adalah sebuah kewajiban yang mesti beliau tunaikan.

4. Dalail Waqar yang beliau maksud diantaranya adalah:

a. قِلَّةُ التَّسَرُّعِ إِلَى الشَّهَوَاتِ (tidak terburu-buru memenuhi tuntutan syahwat).

Perlu diketahui bahwa seorang raja, atau pemimpin, atau pejabat, atau politisi, adalah manusia-manusia yang lebih banyak bertemu dengan berbagai syahwat dibandingkan dengan manusia lainnya yang bukan raja, atau pemimpin, atau pejabat, atau politisi. Akhlaq siyasi ini sangat penting dan sangat terkait langsung dengan bagaimana seorang raja, atau pemimpin, atau pejabat, atau politisi men-siyasat dirinya. Jika ia berhasil dalam men-siyasat dirinya dalam hal ini, insyaAllah, ia akan lebih berhasil dalam men-siyasat orang lain. (baca lagi PETUAH_04).

b. اَلتَّثَبُّتُ عِنْدَ الشُّبُهَاتِ (tatsabbut saat syubhat).

Syubhat adalah keadaan yang belum jelas, masih simpang siur, begini dan begitu, katanya dan katanya, saya dengar dan saya dengar, dan keadaan yang semacam ini.

Saat seorang raja, atau pemimpin, atau pejabat, atau politisi, berada dalam situasi seperti ini, tugasnya adalah tatsabbut, yaitu mencari titik kebenaran dari keadaan tersebut. Ia perlu mengerahkan “mata”, “telinga” dan “hati”-nya, dan dari berbagai sumber, dan bukan sekedar satu sumber, atau second opini saja. Setelah “mata”-nya banyak melihat, “telinga”-nya banyak mendengar, maka hendaklah ia pergunakan “hati” atau “fuad”-nya untuk menilai kebenaran dari keadaan yang sempat membuatnya bingung.

c. Ada 4 akhlaq siyasi yang harus dilakukan oleh seorang raja, atau pemimpin, atau pejabat, atau politisi, saat dia berada dalam keadaan syahwat dan syubhat ini, yaitu:

i. اِجْتِنَابُ سُرْعَةِ الْحَرَكَاتِ

yaitu menjauhi atau menghindari gerakan atau tindakan yang cepat, segera dan terburu-buru dalam merespon keadaan.

ii. خِفَةُ اْلإِشَارَاتِ

yaitu satu sikap akhlaq yang mudah dan gampang sekali mengeluarkan isyarat, yang gara-gara isyarat ini, orang-orang yang ada di sekeliling seorang raja, atau pemimpin, atau pejabat, atau politisi akan segera merespon dan lalu meng-eksekusinya.

iii. إِطْرَاقُ الطَّرَفِ

yaitu satu sikap akhlaq yang tetap bertahan dalam keadaan berfikir, merenung, menimbang dan mencari solusi terbaik dari keadaan yang sedang dihadapinya. Seakan-akan ia “tutup mata”, atau “menuli” (jawa: “mbudeg”) terhadap keadaan yang ada.

iv. لُزُوْمُ الصَّمْتِ

yaitu satu sikap akhlaq yang tetap bertahan untuk diam dan tidak memberi komentar, atau tanggapan, baik secara lisan maupun tulisan, dan bahkan tidak mengekspresikannya dalam bahasa tubuh apa pun.

5. Semua ini hendaklah menjadi akhlaq seorang raja, atau pemimpin, atau pejabat, atau politisi, agar dia memiliki waqar yaitu pembawaan yang tenang dan penuh wibawa, tetapi, jangan sampai juga, dengan alasan ingin waqar malah terjerumus ke dalam akhlaq al-kibr atau ‘ujub, sebab, perbedaan diantara keduanya memang tipis (beti), khususnya dalam tataran praktek dan operasional.

6. Kenapa hal ini mesti dilakukan dan menjadi akhlaq seorang raja, atau pemimpin, atau pejabat, atau politisi?

Alasannya adalah:

لأَنَّ الْمَلِكَ مَلْحُوْظُ اْلأَنْفَاسِ مَنْقُوْلُ اللَّفْظِ

Sebab seorang raja itu nafasnya diperhatikan dan kosa katanya dinukil di sana sini
Termasuk dalam pengertian “raja” di sini adalah seorang pemimpin, atau pejabat, atau politisi.

7. Dan keuntungannya secara siyasi adalah

الْحَصْرُ يُضْعِفُ الْحُجَّةَ، وَالْهَذْرُ يُتْلِفُ الْمُهْجَةَ

Kosa kata yang terbatas dan bisa dihitung akan memperlemah argumentasi lawan, sedangkan banyak berbicara dapat membinasakan diri, termasuk membinasakan diri dan organisasi secara siyasi.

----
Serial sebelumnya:
http://pkspiyungan.blogspot.com/2011/07/serial-5-durar-as-suluk-fi-siyasat-al.html


*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Indonesia
Baca juga :